Radarblitar.com – Masyarakat Jawa terkenal dengan bahasa dan sikap yang halus. Selain itu, adat dan budaya yang mengisyaratkan kehidupan bersosial yang erat. Memang seperti itulah seharusnya, kehidupan yang damai berselimut kerukunan antar sesama. Sebagai masyarakat Jawa, utamanya desa, saya bersyukur bisa berdampingan dengan lingkungan yang menyejukkan itu.
Masyarakat Jawa pedesaan khas dengan rumah-rumah yang berdekatan satu sama lain. Lingkungan ini menjadikan kami memiliki kontrak sosial untuk saling berinteraksi, bekerja sama, gotong royong, bagaikan keluarga sendiri. Saya masih ingat saat Ibu kehabisan nasi atau garam, tak sungkan aku ke rumah tetangga untuk sekedar ‘pinjam’ nasi garam itu.
Gotong royong merupakan baju kami. Tentu saja, sejak kecil kami diajarkan untuk saling memanggul kesulitan orang-orang di sekitar kami agar terasa ringan. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, terdapat dua bentuk konkret dari gotong royong yang diturunkan dari leluhur kami.
Sambatan
Sambatan diambil dari suku kata ‘sambat’ yang secara sederhana artinya mengeluh. Akan tetapi dalam arti yang lebih luas, sambatan merupakan bentuk konkret gotong royong antar masyarakat guna menolong sesama, utamanya mereka yang sedang terkena musibah atau sedang mengerjakan suatu hal yang berat, misalnya membangun rumah atau panen raya.
Budaya ini lebih banyak dijumpai di kampung atau di desa yang masih memiliki hasrat kekeluargaan dan nilai moral juga sosial yang tinggi. Rasa ‘ewuh pakewuh’ (tidak enak jika tidak membantu). Istilah itulah yang tetap menghidupkan falsafah hidup bersosial masyarakat Jawa yang saling pengertian.
Bacaan Penting: Cari Bengkel Motor Murah di Blitar? Cak Nur Kholis Saja, Hemat 75%
Sambatan tidak memandang nilai materil. Budaya itu terbentuk atas dasar kekeluargaan sebagai energi menolong sesama. Sebagai contoh kasus; misalnya si Abdul hendak membangun rumah baru atau memindahkan rumah (kayu) ke lokasi lain, maka secara reflek para tetangga akan berdatangan untuk membantu dalam pembangunan atau pemindahan rumah tersebut tanpa berharap imbalan apapun. Meski demikian, terkadang si pemilik hajatan merasa sungkan, akhirnya memberikan imbalan, biasanya berupa makan bersama.
Di zaman modern kini, melihat Sambatan rasanya sangat beruntung, karena sudah sangat minim masyarakat yang masih melaksanakan budaya baik itu. Dan beberapa bulan lalu, saya bersyukur masih bisa menyaksikannya. Sambatan di depan rumahku. Membangun rumah baru, rumahnya Pak Atok.
Grebuhan
Grebuhan merupakan nama lain dari kerja bakti. Kesamaan grebuhan dengan sambatan, ialah pekerjaan sosial atas dasar nilai kebersamaan dan kekeluargaan. Bedanya, sambatan ranahnya sosial individu, sedangkan grebuhan mengarah pada sosial kolektif (kemasyarakatan). Misalnya, membangun jalan, jembatan, ronda malam, dan lain-lain.
Sebagaimana sambatan, budaya grebuhan pun semakin sulit disaksikan, hampir punah. Jika ada aktifitas sosial membangun jalan atau jembatan, beberapa diantaranya karena pekerjaan profesional yang bermuara pada materi. Mungkin hanya ronda malam saja yang masih tanpa pamrih.
Di desa-desa, budaya grebuhan masih terbilang kental dan masih akrab untuk disaksikan pada setiap kegiatan sosial. Beberapa waktu lalu, di desaku yang terletak di ujung Kabupaten Lamongan, grebuhan masih ada. Membangun jembatan-jembatan kecil di area persawahan misalnya. Mereka menggunakan anyaman dan tiang dari bambu. Canda tawa dan kebersamaan masih erat. Di sela-sela membangun jalur penghubung, mereka masih menyuarakan keakraban.
Saat ini saya tinggal di kota, sambatan dan grebuhan semakin jarang kulihat. Sebagai masyarakat modern aku sedikit memakluminya. Namun dalam sanubariku terdalam, aku berharap dua budaya itu akan senantiasa ada, hingga anak cucuku kelak dewasa untuk melestarikannya kembali. Kita butuh itu, butuh gotong royong untuk menghidupkan kerukunan dan kebersamaan.